Demokrasi dan Kepatuhan

Thursday, August 28, 2014

Kamis, 21 Agustus 2014 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus perkara perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) dengan amar putusan menyatakan menolak permohonan pemohon.
Proses persidangan perkara perselisihan hasil pilpres yang menentukan presiden dan wakil presiden Indonesia untuk masa jabatan lima tahun ke depan ini mendapat perhatian besar, baik dari masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Pembacaan putusan perkara Nomor 1/PHPU.PRES-XII/2014 ini pun menyudahi proses politik pilpres dengan berbagai konstelasi yang melingkupinya.

Mengharap Asa dari Gagasan Pembentukan Pengadilan Lingkungan

Penurunan kualitas lingkungan banyak terjadi diberbagai bidang baik itu kehutanan , sumberdaya, keanekaragaman hayati , maupun pengolahan limbah . Maka itu ide gagasan perlu dibentuknya suatu peradilan lingkungan sebagai bagian dari menumbuhkan sikap sadar sadar lingkungan. Karena dalam menumbuhkan sikap sadar lingkungan memerlukan suatu dukungan baik itu dari aspek sumber daya manusia, sumber daya lain, dan tak kalah pentingnya yaitu peningkatan kapasitas kelembagaan yang dapat digagas melalui lingkungan peradilan lingkungan ini.

Tata Kelola Komunikasi Pemerintahan Baru

Perhelatan pemilihan umum yang reguler dilakukan setiap lima tahunan telah usai dengan beragam cerita yangmengiringinya.Kita patut bersyukur, meskipun tensi politik sangat panas sebagai ekses polarisasi dukungan terhadap dua arus utama pasangan capres/cawapres, pada akhirnya bangsa kita dewasa menyikapinya. Pemilu secara umum berjalandamaidantiappihakmenghormati hukum, peraturan, etika, dan keadaban publik sebagai saluran berkompetisi. Ke depan jalan panjang terbentang, terjal dan butuh daya tahan luar biasa saat menghadapi tantangan nyata dari dalam maupun luar negeri.

Antara Dignity dan Kebodohan

Thursday, April 24, 2014

Dignity adalah martabat yang harus diemban oleh sebuah bangsa terkait dengan kemandirian dan kedaulatan. Sebuah bangsa sering menjadi bulan-bulanan bangsa lain ketika martabat bangsa tersebut tergadaikan secara telanjang tanpa bisa berbuat banyak untuk mengambil kembali martabat yang tergadai tersebut.
Kasus hilangnya martabat bangsa Indonesia kembali menguak ketika minggu lalu beberapa media mengulas tentang kuasa wilayah udara Indonesia, di sekitar Pulau Batam dan Kepulauan Natuna (dikenal di International Civil Aviation Organization/ICAO sebagai sektor A), yang dikontrol oleh navigasi udara Singapura.
Dengan alasan bahwa Pemerintah Indonesia secara teknologi dan sumber daya manusia (SDM), maka ICAO menyetujui Singapura yang mengelola sektor A mulai tahun 1946 hingga kini. Di tengah perkembangan teknologi dan SDM seharusnya Indonesia mampu mengelola sektor A bukan mendelegasikan pengelolaan sebagian ruang udara yang ada kepada bangsa lain.
Meskipun sudah melalui beberapa pembahasan dan negosiasi sejak tahun 1972, sektor A belum juga kembali ke Indonesia. Lebih runyam lagi jika ASEAN Open Sky Policy dimulai pada tanggal 1 Januari 2015 dan permasalahan ini tak kunjung selesai, dignity kita sebagai bangsa yang berdaulat akan semakin jauh panggang dari api.